Jumat, 23 Maret 2012

Kamu


kamu yang memasuki kehidupanku
kamu mewarnai hariku
kamu mengubah hatiku
kamu mendatangkan seribu alasan untuk aku tersenyum
seribu alasan untuk aku menangis
boleh aku bertanya?
benarkah semua itu dari hatimu?
ketulusanmu?
jika tidak, mengapa kamu ada disini?
Tahukah kamu aku sulit melepasmu?
Mungkin suatu saat aku bisa melepasmu, tapi tidak sekarang..
kamu yang selalu membuatku tersenyum dengan nyanyianmu
canda tawamu, tingkah laku lucu darimu…
kamu….

Senin, 19 Maret 2012

Hafila Daeng Nginga (82 tahun) Merana di Saat Tua

Bayangkanlah seandainya dia adalah nenek kita. 
Sudah tua, badannya tidak sekuat dulu tatkala muda
Uang pun dia tak punya. 
Anak cucu entah ke mana. 
Di umurnya yang sudah renta, cuma bisa duduk di ranjangnya sahaja. 
Itu pun sebuah ranjang yang berada di sisi sebuah kamar mandi terbuka. 
Saat malam, dinginnya tak terkira. 
Saat siang, nyaris tak ada bedanya. 
Oh, betapa malangnya nasibmu nenek tua. 
Pemerintah ini memang tidak bisa mengurus warganya yang menderita.
Apalagi SBY paling bisanya cuma bilang "Saya prihatin" saja.




Foto : Tempo Interaktif

Hati dan Logika 2


Hati dan Logika selalu bersama, tapi tak pernah beriringan. Mereka memilih jalannya yang berbeda. Ya, sebenarnya walau mereka berjalan bersama, terkadang mereka acuh tak acuh. Tak mau bergandeng tangan, bahkan enggan menatap yang di sebelahnya. Seperti bermusuhan. Tapi keadaan menjadikan mereka satu.

Kadang Batin mempertemukan mereka, hanya untuk mengajak bicara. Tapi akhirnya mereka berselisih.
Batin hanya bisa menggelengkan kepala dan memenangkan satu di antara mereka.

Satu. Ya, cuma satu.
Dan biasanya Hati yang berkuasa.

Ah, mungkin selamanya Hati dan Logika tak mampu berjalan beriringan, walau tetap harus bersama.

Suatu hari, Hati dan Logika bertemu di persimpangan, hati enggan menyapa, bahkan memalingkan muka. Sungguh ia tak ingin bertemu Logika yang kejam itu. Dalam pikirnya, Logika cuma satu : kejam.

Logika menyapa, mengangkat kepalanya tinggi-tinggi seolah lupa, pertempuran kemarin, perselisihan terbesar mungkin, dimenangkan juga oleh Hati. Hati yang pulang dengan kemenangan walaupun memar sana-sini. Memarnya tak hilang juga.

"Hai, Hati, apa kabarmu hari ini?", katanya jumawa.

"Baik", Hati menjawab singkat.

"Mengapa wajahmu masih biru? Masih sakitkah seperti dihujam sembilu?", ada nada mengejek dalam setiap katanya.

Hati hanya tersenyum dan, Logika pun jelas melihat, ada bahagia tersirat.

"Ya. Masih memar. Tapi aku bahagia.", ujarnya singkat.

"Ah, dasar bodoh. Bahagia katamu? Macam bahagia karena luka-luka? Sudah gila rupanya. Apa kamu tak punya logika? Oh iya, Logika itu kan aku."

dan Logika pun tertawa. Keras dan masih jumawa.

"Bilang saja aku gila. Tapi aku bahagia. Cukup untuk mengatasi setiap luka."

dan Hati hendak berbalik pergi.
Tapi Logika menahannya.

"Tunggu! Tunggu. Aku masih ingin tahu. Mengapa kau tak mengalah saja? Ketahuilah. Jika kau saat itu mengalah, lukamu tak akan parah.", Logika akhirnya tak bisa menyembunyikan keheranannya.

"Ya. Memang."

"Lalu?"

"Memang demikian. Tapi aku tak tahu harus bagaimana bertanggung jawab pada cinta, jika aku mengalah.
Aku tak tahu bagaimana harus menopangnya yang mungkin akan jauh lebih terluka, daripada luka yang kutanggung saat ini."

Logika terdiam.
Hati terdiam.
Dan Logika angkat suara.

"Masih tak inginkah kau beri tempat juaramu padaku?"

"Tidak"

"Bilang saat kau mau."

"Tidak akan. Aku harap tidak akan."

"Baiklah", Logika menghela nafas, "Kau mau ke mana?"

Hati tersenyum, jauh lebih ramah dan tulus.

"Ke sana, ke tempat yang jauh di masa nanti. Ke depan. Pokoknya bergerak maju tanpa henti.", ujarnya dengan semangat yang mendadak hadir.

"Aku antar.", kata Logika.

"Tidak," Hati menggeleng. "Kita tetap bersama, namun selamanya kita tak beriringan. Lagipula untuk menuju ke sana ku sudah punya kawan."

"Siapa?"

"Waktu."

"Oh."

"Logika, kelak kita bertemu lagi dalam pertempuran baru. Bersama Batin yang hanya sanggup menggeleng dan mengangguk, dan memilih satu. Lain waktu. Lain kali. Dan kita tak persoalkan lagi perselisihan kemarin ini."

"Baiklah."

"Dan satu lagi," Hati menghentikan langkahnya, "Saat kita bertemu, memar ini pasti tak lagi ada."

"Kita lihat saja," Logika tergelak.

"Ah, kau kan sudah kuberi tahu aku berjalan bersama siapa."

"Siapa?"

"Waktu..."

Logika tersenyum.
Hati juga tersenyum dan melambaikan tangannya.

"Sampai jumpa, Logika."

"Sampai jumpa, Hati."

Dan di persimpangan itu mereka bertemu, dan di persimpangan itu mereka berpisah.


Minggu, 18 Maret 2012

Sakit hati : Sambalnya cinta



Saat merasakan, mendapatkan dan sedang dikuasai oleh cinta, seseorang pasti akan merasa dirinya punya mood yang selalu senang  dalam keadaan apapun.

Karena saat cinta sedang merasuki jiwa seseorang, sudah pasti merasa diri mendapat pengakuan, perlakuan yang diinginkan dan mendapat sanjungan yang membuatnya merasa terlindungi, harapannya adalah selamanya dan tak akan berakhir.

Namun seiring berjalan waktu, kedinamisan perasaan cinta itu banyak berhubungan dengan pihak-pihak luar individu yang bercinta, interaksi dengan pihak luar yang melibatkan pasangan tak selamanya disukai, tak selamanya disetujui dan tak selamanya cocok, mengakibatkan jika salahsatu pasangan tak mendukung apa yang dilakukan atau sebaliknya, dan dua-duanya berlawanan, timbullah perasaan terkhianati dan tak merasa didukung, padahal tadinya sudah saling merasa cocok dan berkomitmen juga merasa tak ada yang lain dihati selain “kamu”.

Maka timbul rasa sakit hati yang dalam, rasa sakit hati yang dikarenakan terlalu cinta dan merasa dicintai, sakit hati yang timbul karena maksud hati tak ingin cintanya ternoda oleh sesuatu yang mengganggu kenyamanan, dikarenakan pengaruh luar dua individu yang bercinta atau keadaan lain yang menghampiri.

Jika dikelola, rasa sakit hati ini bukanlah rasa yang harus jadi masalah dalam percintaan, ini karena masalah “ketakutan” dan “ketidak inginan” seseorang cintanya terganggu, rasa sakit hati bisa ditelaah lebih dalam agar terjadi anggapan yang tak berarti negatif.

Cinta, ibarat sepiring hidangan istimewa disuatu jamuan, ketika melahapnya tanpa rasa lain, tak akan nikmat dikunyah dan lidah ingin merasakan variasi agar makanan yang dikunyah terasa lebih enak juga puas ditelan, dan jika hidangan tersebut sangat cocok dibubuhi sambal pedas, sudah pasti ketahuan selera masakan yang memang cocok dibumbui pedas, ya sambal, sambal rasanya pedas tapi nikmat rasanya, begitupun dengan sakit hati pada percintaan, rasanya pedas seperti sambal namun sakit hati itu sebagai refleksi dalamnya ungkapan cinta juga, yang semakin menambah arti cinta itu.

Rasa sakit hati bisa menjadi bumbu sambal dari cinta yang pernah ada atau yang sedang dijalani, seperti makan pakai sambal, jadi terasa maknanya, dalam hubungan yang luas dan tak serta merta hanya hubungan dua insan saja, rasa sakit hati dapat dipandang sebagai  ungkapan cinta yang dalam yang lebih dan beralasan kuat dalam menyampaikan maksud dan tujuan, bukan sebagai sikap yang ditujukan untuk kebencian.

Selasa, 13 Maret 2012

Hati Dan Logika

Hati dan logika, dua kata yang berbeda konsep namun saling menopang satu sama lain. Jalan pikir logika adalah berdasar apa yang kita butuhkan, benar atau salah. Sedangkan hati adalah berdasarkan apa yang kita inginkan, emosi, tidak peduli benar atau salah. Hati lebih perasa, tapi rapuh. Logika kuat tak terkira, namun tega. Hati dan logika memang tidak bisa berjalan beriringan, namun mereka selalu bersama.


Ya, inilah yang terjadi dan inilah sebuah kesalahan besar yang saya lakukan. Logika jauh lebih berat melebihi hati. Saya teringat akan ucapan seorang teman, "Boi, hati yang udah lama tertutup saat terbuka kembali akan rapuh dan mudah hancur". Awalnya saya tidak mengerti, saya hanya tau dia berkata sesuatu tentang sebuah hati. Tapi ternyata tidak, saya baru mengetahui kalau dia ternyata mengatakan sesuatu dan saya tidak peduli. Dan sesuatu itu memang benar terjadi. Sakit, hancur, itulah yang saya rasakan selama 3 bulan ini. Ya, hati yang terbuka ini hancur lebur, remuk redam.
Saat logika melebihi hati akan sulit menyeimbangkan keduanya, begitu pula sebaliknya. Saat hati melebihi logika akan sulit meyakinkan bahwa logika itu benar. Saat ini saya belum bisa mengesampingkan perasaan hati, entah mengapa yang terjadi. Logika sudah berkata bahwa hal ini salah, tapi tetap hati jauh lebih kuat dan berusaha untuk tetap bertahan. Entah ini adalah cobaan atau sebuah pelajaran hidup.
Dengan kejadian ini saya sadar, hati dan logika harus seimbang. Hati dan logika harus berjalan bersama, saat hati tidak peduli akan kesalahannya logika akan mengingatkan hati tersebut. Begitu juga sebaliknya, saat logika berjalan tanpa perasaan, hati akan mengingatkan logika tersebut.
Jadi sudah seimbangkah hati dan logika anda?
Cinta adalah soal hati, tapi memilih adalah logika. Cintailah seseorang dengan hatimu, tapi jangan biarkan ia yang tampil ketika kau memilih. Tuhan memberimu logika untuk berperan disana. Dan jangan sekali-kali mempertentangkannya, karena Tuhan menciptakan keduanya untuk saling mengisi, bukan membenci.

Kamis, 08 Maret 2012

Seorang nenek mencuri singkong karena kelaparan, hakim menangis saat menjatuhkan vonis




Di ruang sidang pengadilan, hakim Marzuki duduk tercenung menyimak tuntutan jaksa PU terhadap seorang nenek yg dituduh mencuri singkong, nenek itu berdalih bahwa hidupnya miskin, anak lelakinya sakit, cucunya lapar, namun manajer PT A**** K**** (B**** grup) tetap pada tuntutannya, agar menjadi contoh bagi warga lainnya. 
Hakim Marzuki menghela nafas, dia memutus diluar tuntutan jaksa PU, "maafkan saya", katanya sambil memandang nenek itu. "saya tidak dapat membuat pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jd anda harus dihukum. Saya mendenda anda 1 juta rupiah dan jika anda tidak mampu membayar maka anda harus masuk penjara 2,5 tahun, spt tuntutan jaksa PU".
Nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk redam, sementara hakim Marzuki mencopot topi toganya, membuka dompetnya kemudian mengambil amplop dan memasukkan uang 1 juta rupiah ke topi toganya serta berkata kepada hadirin, "Saya atas nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada setiap orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar 50 ribu rupiah, sebab menetap di kota ini, yang membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya. saudara panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa". Sampai palu diketuk dan hakim Marzuki meninggalkan ruang sidang, nenek itu pun pergi dengan mengantongi uang 3,5 juta rupiah, termasuk uang 50 ribu yang dibayarkan oleh manajer PT A**** K**** yg tersipu malu karena telah menuntutnya.
Sungguh sayang kisahnya luput dari pers. Kisah ini sungguh menarik sekiranya ada teman yg bisa mendapatkan dokumentasi kisah ini, bisa di share di media untuk jadi contoh kepada aparat penegak hukum lain untuk bekerja menggunakan hati nurani dan mencontoh hakim Marzuki yg berhati mulia.